Jumat, 08 Mei 2009

perlintan teori agus surya.,ir mp

Pengendalian Hayati dan Patogen Tanaman

1. Banyak jenis tanaman asing (eksotik) yang masuk ke lokasi geografi baru tanpa disertai dengan musuh alaminya. Tanpa kehadiran musuh alaminya, tanaman eksotik akan leluasa mengkolonisasi habitat buatan dan/atau alami sehingga menjadi hama atau gulma (tanaman pengganggu). Adalah tepat jika gulma didefinisikan sebagai tanaman yang berada di tempat yang salah atau tanaman yang tidak diinginkan keberadaanya di suatu tempat.

2. Agen pengendali hayati gulma yang paling sering digunakan adalah serangga herbivora. Serangga herbivora dapat memakan berbagai bagian tanaman. Serangga mungkin pula merusak tanaman dengan melubangi batang atau akar ketika meletakkan telurnya. Serangga herbivora dapat pula mengendalikan gulma dengan jalan mentransmisikan penyakit (patogen) tanaman.

3. Serangga herbivora yang digunakan sebagai agen pengendali hayati harus spesifik, sehingga hanya menekan populasi gulma tanpa berpengaruh buruk terhadap tanaman yang berguna.

4. Pengendalian hayati kaktus Opuntia inermis dan O. stricta dengan menggunakan ngengat Cactoblastis cactorum di Australia sekitar tahun 1926-1935 adalah satu di antara beberapa keberhasilan pengendalian hayati gulma dengan serangga yang sangat spektakuler.

5. Keberhasilan pengendalian hayati gulma di suatu tempat tidak selalu dapat diulangi di tempat lain. Ngengat Cactoblastis, misalnya ternyata kurang berhasil ketika digunakan untuk mengendalikan kaktus Opuntia di Afrika Selatan.

6. Organisme lain yang juga berpotensi sebagai agen pengendali hayati gulma adalah patogen (kapang dan bakteri) dan ikan herbivora. Keberhasilan penggunaan kapang karat diperlihatkan pada kasus pengendalian gulma kerangka di Australia Tenggara. Kecuali dengan menggunakan serangga dan kapang, pengendalian gulma air dapat pula dilakukan dengan memakai ikan koan (Ctenopharyngodon idella) triploid yang steril.

7. Pengendalian hayati terhadap penyakit tanaman melibatkan penggunaan agen pengendali kapang dan bakteri untuk menyerang dan mengendalikan patogen tanaman serta penyakit yang ditimbulkannya. Mekanisme pengendalian hayati penyakit tanaman meliputi penggunaan mikroorganisme antagonis, pesaing, hiperparasit, perangsang mekanisme pertahanan alami inang, dan pemodifikasi lingkungan.

8. Penerapan antagonis dapat dilakukan dengan cara memberikannya pada bagian-bagian tanaman yang luka karena pemangkasan, melapisi benih tanaman, bahkan dengan memasukkannya ke dalam malam (wax) yang dipakai dalam proses packing. Inokulasi tanaman inang dengan antagonis telah pula digunakan untuk melawan patogen umum.

Strategi Pengendalian Hayati Gulma

1. Pengendalian hayati gulma adalah suatu pilihan jika kita tidak harus menyingkirkan, membasmi, atau membunuh gulma secara cepat. Secara keseluruhan, penggunaan musuh alami untuk mengendalikan gulma akan lebih murah daripada herbisida. Program yang sukses akan menghasilkan biaya yang efisien, pengelolaan gulma yang berkelanjutan, dan tanpa atau hanya mempunyai pengaruh minimal terhadap tanaman bukan target dan lingkungan.

2. Pengendalian hayati gulma dapat dilakukan dengan melepaskan agen pengendali ke tempat-tempat tertentu. Setelah itu agen pengendali diharapkan akan menyebar sendiri. Pengendalian hayati gulma dengan cara ini merupakan sebuah pendekatan ekologis atau pendekatan klasik dan biasanya bekerja baik pada sistem yang relatif stabil.

3. Pengendalian hayati gulma dapat pula dilakukan dengan cara membanjiri populasi gulma target dengan agen pengendali. Pengendalian hayati dengan cara ini harus disertai dengan teknologi perbanyakan agen pengendali. Agen pengendali yang dipakai biasanya tidak bisa mapan dan karena itu harus diulang aplikasinya. Pengendalian hayati dengan cara ini pada dasarnya adalah suatu pendekatan teknologi.

4. Ada pula pengendalian hayati gulma dengan cara konservasi dan pengendalian berspektrum lebar. Kedua pendekatan ini masing-masing merupakan pendekatan yang bersifat ekologi dan teknologi.

5. Beberapa langkah dalam program pengendalian hayati gulma dengan pendekatan ekologi atau pengendalian hayati klasik adalah

a. identifikasi gulma target,

b. identifikasi agen pengendali dan penilaian tingkat kekhususan inang,

c. pelepasan terkendali,

d. pelepasan penuh dan identifikasi tempat pelepasan yang optimal,

e. pemantauan tempat pelepasan,

f. pendistribusian ke tempat lain, dan

g. pemeliharaan populasi agen pengendali.

6. Masa depan pengendalian hayati gulma sangatlah optomis. Di Indonesia, peluang yang tersedia untuk pengendalian hayati gulma relatif tidak terbatas. Mikroorganisme patogen tanaman menawarkan peluang yang luar biasa besar untuk

pengendalian hayati gulma. Untuk gulma di bidang pertanian, perkebunan, atau tempat-tempat lain yang sering terganggu karena intervensi manusia, pengendalian hayati dengan menggunakan mikoherbisida sangatlah menjanjikan. Penggunaan fitotoksin adalah pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma.

Tujuan dan Pendekatan Pengendalian Hayati

1. Ada tiga tujuan dari pengendalian hayati, yaitu reduksi, pencegahan, dan penundaan.

2. Reduksi populasi hama dilakukan setelah hama mencapai tingkat yang menimbulkan masalah. Dengan reduksi, populasi hama diharapkan dapat berkurang ke tingkat yang cukup rendah sehingga hama tidak lagi menimbulkan masalah dalam jangka waktu yang lama.

3. Pencegahan dalam pengendalian hayati dimaksudkan untuk menjaga populasi hama potensial agar tidak mencapai tingkat luka ekonomi (TLE). Pencegahan membutuhkan intervensi awal sebelum hama potensial berkembang mencapai atau melewati TLE.

4. Pada penundaan, populasi hama dapat berkembang ke tingkat yang tinggi, tetapi terjadi ketika serangga tidak lagi dianggap sebagai hama karena berada di luar jendela waktu. Penundaan perkembangan hama membutuhkan intervensi awal sebelum populasi hama potensial mencapai atau melewati TLE.

5. Tiga pendekatan dalam pengendalian hayati adalah importasi atau yang disebut pula dengan sebutan pengendalian hayati klasik, augmentasi, dan konservasi.

6. Pendekatan importasi melibatkan introduksi musuh alami (pemangsa, parasitoid, dan patogen) eksotik, dan umumnya digunakan untuk melawan hama eksotik pula. Pendekatannya didasarkan pada pemahaman bahwa makhluk hidup yang tidak disertai dengan musuh alami asli akan lebih bugar (fit) dan akan lebih melimpah dan lebih mampu bersaing daripada yang menjadi subjek pengendalian alami. Untuk mengendalikannya perlu dicarikan musuh alami yang efektif di tempat asalnya.

7. Praktek augmentasi didasarkan pada pengetahuan atau asumsi bahwa pada beberapa situasi jumlah individu atau jenis musuh alami tidak cukup memadai untuk mengendalikan hama secara optimal. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pengendalian hama, jumlah musuh alami perlu ditambah melalui pelepasan secara periodik. Ada dua pendekatan augmentasi, yaitu inokulasi sejumlah kecil musuh alami dan inundasi (membanjiri) dengan jumlah yang besar, tergantung pada tujuannya.

8. Pengendalian hayati konservasi pada dasarnya adalah melindungi, memelihara, dan meningkatkan efektivitas populasi musuh alami yang sudah ada di suatu habitat. Konservasi merupakan pendekatan paling penting jika kita ingin memelihara populasi musuh alami, baik asli maupun eksotik, di dalam ekosistem pertanian.

9. Manipulasi genetik telah memberikan harapan besar untuk meningkatkan keampuhan musuh alami. Manipulasi genetik musuh alami serangga dapat dilakukan untuk meningkatkan resistensi terhadap pestisida, meningkatkan toleransi terhadap iklim, meningkatkan kemampuan menemukan inang, mengubah preferensi inang, meningkatkan sinkronisasi dengan inang, meningkatkan fekunditas, dan mengin-duksi reproduksi thelytoky. Sampai saat ini, hanya seleksi buatan terhadap musuh alami saja yang berhasil dilakukan. Potensi heterosis dan teknologi rDNA masih belum dipraktekkan.

Hubungan Taksonomi dan Pengendalian Hayati

1. Taksonomi adalah komponen sistematik yang khusus mempelajari teori dan praktek klasifikasi. Ahli taksonomi melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan identifikasi, deskripsi, penamaan, dan klasifikasi makhluk hidup.

2. Nama ilmiah jenis hama dan musuh alami harus dapat diidentifikasi dengan akurat sebelum program pengendalian hayati hama diterapkan. Nama ilmiah merupakan kunci untuk membuka jendela informasi seluas-luasnya mengenai makhluk hidup yang akan digunakan dalam pengendalian hayati.

3. Klasifikasi makhluk hidup hanyalah bersifat sementara dan menjadi subjek terhadap perubahan, khususnya ketika ditemukan taksa dan karakter-karakter baru.

4. Karakter taksonomi didefinisikan sebagai atribut sebuah takson untuk membeda-kannya atau potensial membedakannya dari lainnya. Karakter tersebut digunakan untuk membangun klasikasi dan mengidentifikasi taksa. Karakter taksonomi dapat dikategorikan sebagai morfologi, fisiologi, molekuler, ekologi, reproduksi, dan perilaku.

5. Tidak ada perbedaan nilai antara karakter morfologi dan biologi. Jika digunakan dengan tepat keduanya akan dapat mengekspresikan perbedaan genetik yang sangat bernilai dalam klasifikasi dan identifikasi. Hal yang paling ideal adalah membuat korelasi antara karakter biologi yang baru dengan satu atau lebih perbedaan morfologi yang ada untuk lebih melihat variasi di antara jenis-jenis yang ada.

6. Karakter biologi lebih umum digunakan pada tingkat jenis. Sifat biologi yang dicari adalah yang spesifik untuk tujuan pemisahan atau identifikasi jenis. Karakter biologi yang paling sering digunakan untuk membedakan jenis serangga entomofagus kriptik adalah karakter ekologi, perilaku, dan reproduksi.

7. Hubungan antara pengendalian hayati dan taksonomi bersifat timbal balik. Keduanya saling membutuhkan informasi yang diperoleh dari pekerjaan yang telah dilakukan oleh masing masing pihak.

Sumber Buku Pengendalian Hayati Karya Adi Basukriadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar